Gerakan yang membuat Anda tidak nyaman di restoran Jepang dan hampir semua dari kita melakukannya tanpa menyadarinya.

Friday 14 November 2025 11:16 - Patricia González
Gerakan yang membuat Anda tidak nyaman di restoran Jepang dan hampir semua dari kita melakukannya tanpa menyadarinya.

Di Jepang, makan lebih dari sekadar kegiatan sehari-hari: makan adalah sebuah latihan untuk meningkatkan kesadaran. Makan berarti menghargai bahan mentah, tangan yang menyiapkannya, dan ruang yang digunakan bersama. Itulah sebabnya setiap gerakan, mulai dari cara memegang mangkuk hingga cara makan, memiliki makna. Etiket bukanlah daftar larangan, tetapi cara untuk menjaga keharmonisan momen.

Meskipun pengunjung asing jarang ditegur karena melakukan kesalahan, mengetahui aturan dasar akan membantu Anda memahami sesuatu yang esensial: bahwa meja makan di Jepang juga merupakan sebuah upacara. Dan jika Anda mengunjungi negara ini, atau sekadar duduk di restoran Jepang, memahami adat istiadat ini akan membuat pengalaman Anda jauh lebih bermakna. Inilah yang tidak boleh Anda lakukan:


Gunakan oshibori seperti layaknya kain lainnya.

Sebelum hidangan pertama tiba, pelayan akan menawarkan Anda, di atas nampan atau dengan penjepit, handuk kecil yang digulung basah. Di musim dingin, handuk ini terasa hangat; di musim panas, handuk ini terasa sejuk. Ini disebut oshibori dan hanya untuk menyeka tangan Anda sebelum makan. Baik wajah maupun meja.

Dan mengapa tidak melakukannya? Karena apa yang tampak seperti gerakan minimal mengandung filosofi yang lengkap: untuk menyucikan diri sebelum menyentuh makanan. Di Jepang, menyeka tangan bukan hanya masalah kebersihan, tetapi juga rasa hormat: cara untuk meninggalkan debu dan kotoran hari ini untuk duduk, bersih dan tenang, di meja makan.

Tancapkan sumpit ke dalam nasi

Di antara sikap yang paling membingungkan orang Jepang adalah membiarkan sumpit (hashi) menancap di nasi. Bagi orang Barat, hal ini mungkin merupakan cara sederhana untuk mendukung mereka, tetapi di Jepang, hal ini memiliki makna pemakaman: mengingatkan kita pada dupa yang dipersembahkan kepada orang yang telah meninggal selama ritual pemakaman.

Jadi, ketika Anda selesai makan atau beristirahat, jangan pernah meninggalkannya dalam posisi tegak. Letakkan di atas dudukan kecilnya (hashioki) atau, jika tidak ada dudukan, sejajar dengan mangkuk, dengan tenang dan hening.

Makan di depan orang yang pangkat atau usianya lebih tinggi

Di Jepang, meja makan memiliki ritmenya sendiri, dan tidak ada yang mengaturnya secara mendadak. Pada jamuan makan formal, tidak ada yang menyentuh sumpit sebelum orang yang lebih senior atau lebih tinggi pangkatnya.

Dan mengapa tidak? Karena gerakan kecil itu, menunggu, meringkas bagian yang baik dari pendidikan Jepang: makan bukan hanya memberi makan, tetapi juga menemani. Acara makan dimulai ketika orang yang pantas dihormati melakukannya, dan mengikuti langkah mereka adalah cara diam-diam untuk mengakui hal ini: rasa saling menghormati yang ditunjukkan tanpa kata-kata.

Pemberian tip

Di Jepang, rasa terima kasih tidak diukur dengan uang. Tidak peduli seberapa sempurna layanan yang diberikan, memberi tip dianggap tidak perlu dan bahkan bisa menjadi hal yang canggung. Sudah menjadi kebiasaan untuk menundukkan kepala sedikit dan mengucapkan gochisousama deshita, sebuah ungkapan yang lebih dalam dari sekadar "terima kasih". Ini adalah cara untuk mengakui pekerjaan yang tak terlihat di balik setiap hidangan: siapa yang memasak, siapa yang menyajikan, siapa yang memilih ikan atau nasi.

Dan mengapa tidak melakukannya? Karena di sini rasa terima kasih tidak dibayar: melainkan diungkapkan.

*Meskipun, sedikit demi sedikit, beberapa tempat di daerah wisata mulai menerima uang tip dari pengunjung, sebagian besar orang Jepang masih lebih memilih rasa terima kasih yang tulus.

Memindahkan makanan dari tusuk gigi ke tusuk gigi

Ada satu gerakan yang tanpa disadari bisa membuat orang Jepang merasa tidak nyaman, yaitu menyuapkan makanan dari satu sumpit ke sumpit lainnya. Bagi orang Jepang, gerakan ini sangat simbolis. Selama pemakaman, para kerabat memindahkan tulang-tulang almarhum dengan cara yang sama, dari sumpit ke sumpit, sebagai bagian dari ritual leluhur.

Mengulangi gerakan ini di meja makan, meskipun tidak disengaja, akan membangkitkan kematian di ruang yang merayakan kehidupan. Jika Anda ingin berbagi sesuatu, hal yang benar untuk dilakukan adalah dengan menggunakan bagian belakang sumpit atau meletakkan makanan di atas piring di antaranya.

Gunakan parfum yang kuat

Di Barat, pergi ke restoran yang bagus sering kali disertai dengan ide untuk memakai parfum yang bagus. Di Jepang, hal ini dianggap sebagai sebuah kesalahan. Di sana, aroma makanan memiliki bobot yang sama besarnya dengan rasanya: uap nasi yang baru saja ditanak, aroma teh, atau aroma kaldu adalah bagian dari kenikmatan makan. Bau yang asing akan mengganggu keseimbangan ini dan mengalihkan indra penciuman. Itulah sebabnya mereka yang pergi ke restoran Jepang cenderung tidak menggunakan wewangian yang kuat. Fokusnya harus pada hidangan, bukan pada pemakannya.

Celupkan sushi ke dalam kedelai

Ini adalah gerakan yang umum dilakukan: kita mengambil sepotong sushi dan mencelupkannya ke dalam kecap asin. Namun di Jepang, hal ini dianggap sebagai sebuah kesalahan. Kecap tidak dimaksudkan untuk merendam nasi, tetapi untuk meningkatkan rasa ikan. Merendam sushi hingga menetes dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan, cara untuk menghapus hasil kerja koki. Setiap potongan sushi dipikirkan hingga ke milimeter: proporsi yang tepat antara nasi, ikan, dan wasabi, serta lapisan tipis kedelai, yang sering kali dioleskan dengan kuas oleh itamae sendiri sebelum disajikan. Inilah sebabnya mengapa, saat makan, hanya satu sudut ikan yang dicelupkan (tidak pernah nasi) dan dibawa ke mulut dalam satu gigitan, sama seperti saat dibuat.

Ritual yang juga menghuni kehidupan sehari-hari

Apa yang di Barat dianggap sebagai "seremonial" - gerakan yang tepat, keheningan, ketenangan - di Jepang tidak terbatas pada acara-acara khusus, tetapi merupakan bagian dari mentalitas yang diekspresikan bahkan dalam tindakan makan. Ini adalah rasa hormat yang bijaksana, perhatian yang hampir tidak disadari yang meresap ke dalam gerakan sehari-hari: bagaimana piring disajikan, bagaimana mangkuk dipegang, bagaimana seseorang menghindari berbicara dengan mulut penuh atau memindahkan peralatan makan secara sembarangan. Hal ini tidak hanya diperuntukkan bagi makanan formal, perjamuan atau perayaan; dalam kehidupan sehari-hari, logika yang sama ini menjadi lebih sederhana, tetapi tidak hilang.

Patricia GonzálezPatricia González

Komentar

Beri nilai artikel ini: